Berita

  • Home
  • Berita
  • Tatap Muka Pelaku Sejarah, Tokoh Perempuan, dan Pimpinan Organisasi Perempuan

Tatap Muka Pelaku Sejarah, Tokoh Perempuan, dan Pimpinan Organisasi Perempuan

  • adminkowani
  • 5 Agustus 2016
News Image
6
Ketua Umum PHI, Dr.Ir.Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd. membuka acara dengan Pemukulan Gong
5
Menteri Sosial,Hj. Khofifah Indar Parawansa sebagai Keynote Speaker

7

Prof.Dr. Nasarudin Umar, MA dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas sebagai Narasumber

8

Tim Paduan Suara dari Kowani

Kasus Istri Gugat Cerai MeningkatTajam

Senin, 14 Desember 2015 — 15:29 WIB

JAKARTA (Pos Kota)- Perceraian dengan gugat cerai (istri yang menceraikan suami), cenderung meningkat tajam. Dalam beberapa tahun terakhir diperkirakan 75 persen peceraian akibat gugat cerai.

“Sekarang ada kecenderungan perempuan lebih berani untuk mengambil keputusan cerai,” kata Nasarudin Umar, guru besar Ilmu Tafsir UIN di sela tatap muka pelaku sejarah tokoh perempuan dan pimpinan organisasi perempuan yang digelar Kowani, Senin (14/12).

Ada 13 faktor yang menjadi pemicu perceraian dalam rumah tangga.Tetapi menurut Nasarudin, kasus poligami dan masalah ekonomi menjadi penyebab tertinggi kasus perceraian.

Nasarudin mengingatkan kasus gugat cerai harus diperhatikan betul oleh kaum perempuan.Karena gugat cerai membawa konsekuensi berat utamanya masalah ekonomi.

“Istri yang menggugat cerai, ketika perceraian sudah diputuskan maka tidak ada kewajiban suami untuk memberikan nafkah atau uang idah dan lainnya,” lanjut Nasaruddin.

 Kemandirian Perempuan

Sementara itu Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto mengatakan kemandirian perempuan dalam hal ekonomi menjadi salah satu penyebab mengapa sekarang perempuan berani menggugat cerai suami.Tetapi keberanian ini sebenarnya sudah kebablasan.

“Jangan karena mandiri secara ekonomi, tidak bergantung pada uang suami, lantas dengan mudah menggugat cerai,” kata Giwo.

Sebab perceraian tidak hanya akan berakibat bagi si perempuan itu sendiri. Tetapi juga situasi dan kondisi anak-anak harus menjadi pertimbangan semua perempuan yang hendak bercerai.
“Cerai akan membuat anak-anak terganggu. Bagaimanapun mereka tidak akan nyaman apalagi jika masing-masing orangtua kemudian memiliki pasangan,” lanjut Giwo.

 Kemiskinan Baru

Selain itu perceraian sering menimbulkan kemiskinan baru.Utamanya jika perempuan mendapatkan hak asuh anak sementara suami tidak konsekuen mengirimkan nafkah bagi anak-anaknya.

Karena itu Giwo meminta agar perempuan yang memang memiliki masalah dalam
perkawinannya agar dipikirkan baik-baik sebelum memutuskan cerai.Konsultasikan dengan baik kepada pihak yang berkompeten, pertimbangkan sisi negatifnya. (Inung/win)

Sumber : http://poskotanews.com/2015/12/14/kasus-istri-gugat-cerai-meningkat-tajam/

Perceraian Timbulkan Kemiskinan Baru

Senin, 14 Des 2015

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo (tengah, berbaju hijau)) bersama anggota Kowani
Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo (tengah, berbaju hijau)) bersama Pengurus Kowani

JAKARTA (Pos Sore) – Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Giwo Rubianto Wiyogo, berpendapat, perceraian sering menimbulkan kemiskinan baru.

Utamanya jika perempuan mendapatkan hak asuh anak sementara suami tidak konsekuen mengirimkan nafkah bagi anak-anaknya.

Karena itu, Giwo yang juga Ketua Umum Panitia Peringatan Hari Ibu ke-87, meminta suami dan istri yang memang memiliki masalah dalam perkawinannya agar nerpikir matang sebelum memutuskan bercerai.

“Konsultasikan dengan baik kepada pihak yang berkompeten, pertimbangkan sisi negatifnya,” ujar Giwo usai diskusi ‘Tatap Muka Pelaku Sejarah Tokoh Perempuan dan Pimpinan Organisasi Perempuan’, di Jakarta, Senin (14/12).

Diskusi bertema ‘Inspirasi Pejuang dan Pemimpin Perempuan dalam Menggapai Cita-cita Menuju Kesetaraan Gender’ ini diadakan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dalam rangka Peringatan Hari Ibu ke-87.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa, usai memberikan keynote speech pada pertemuan itu meminta semua pihak harus melakukan penguatan agar terjadi penurunan angka gugat cerai, karena yang menjadi korban dipastikan anak-anak mereka,

“Memutuskan pernikahan itu harus benar-benar matang, karena ada risiko dan konsekuensi yang harus ditanggung oleh kedua pasangan, khususnya setelah anak-anak lahir,” tandasnya.

Menurut Mensos, berbagai permasalahan yang terjadi, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan anak dan perempuan hulunya dari pernikahan dini, serta pernikahan yang tidak tercatatkan dan teradministrasikan.

Jika dilihat dari segi persentasi masalah, setidaknya lebih 75 persen pernikahan yang tidak dicatatkan dan teradministrasikan itu memiliki risiko dan kerentanan terhadap anak-anak dan pernikahan itu sendiri.

“Untuk mendapatkan pernikahan sejahtera, agar menghindari pernikahan dini dan tidak tercacatkan. Sebab, UU No 1 tahun 1974 menyebut umur perkawian perempuan 16 tahun mesti direvisi seiring regulasi yang ada,” katanya. (tety)

Sumber : http://possore.com/2015/12/14/perceraian-timbulkan-kemiskinan-baru/

 

75 Persen Perceraian Bermula dari Gugatan Istri-JPNN.com

JAKARTA – Angka perceraian akibat gugat cerai (istri ceraikan suami) belakangan ini cukup tinggi. Kecenderungan itu dalam beberapa tahun terakhir diperkirakan mencapai 75 persen perceraian akibat gugat cerai.

“Beberapa tahun terakhir ini ada kecenderungan perempuan lebih berani untuk mengambil keputusan cerai,” ucap Guru Besar Ilmu Tafsir UIN, Nasarudin Umar saat acara Tatap Muka Pelaku Sejarah Tokoh Perempuan yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kowani, Jakarta, Senin (14/12).

Data Kementerian Agama tahun 2014 menyebutkan setiap tahun ada dua juta pasangan yang menikah. Sementara angka perceraian menunjukkan 215.000 pasangan berpisah setiap tahun.

Parahnya, mayoritas perceraian terjadi di rumah tangga yang menikah dini. Sehingga ketika berpisah, perempuan dan anak berada di garis kemiskinan lantaran tidak memiliki sumber nafkah. “Ada 13 faktor yang menjadi pemicu perceraian dalam rumah tangga. Tetapi, kasus poligami dan masalah ekonomi menjadi penyebab tertinggi kasus perceraian,” tukas Nasarudin.

Di kesempatan yang sama, Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto Wiyogo menambahkan kemandirian perempuan dalam hal ekonomi menjadi salah satu penyebab mengapa sekarang perempuan berani menggugat cerai suami. Tetapi keberanian ini sebenarnya sudah kebablasan. “Jangan karena mandiri secara ekonomi, tidak bergantung pada uang suami, lantas dengan mudah menggugat cerai,” lontarnya. (nas/fdi/dil/jpnn)

jpnn.com, 15. 12. 2015 08:15 am

Sumber : http://halloindo.com/a1911544/root_hrefSharePath

 

 

Istri Gugat Cerai Capai 75 Persen

indopos

15 Desember 2015

JAKARTA– Angka perceraian akibat gugat cerai (istri ceraikan suami) belakangan ini cukup tinggi. Kecenderungan itu dalam beberapa tahun terakhir diperkirakan mencapai 75 persen perceraian akibat gugat cerai.

“Beberapa tahun terakhir ini ada kecenderungan perempuan lebih berani untuk mengambil keputusan cerai,” ucap Guru Besar Ilmu Tafsir UIN, Nasarudin Umar saat acara Tatap Muka Pelaku Sejarah Tokoh Perempuan yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kowani, Jakarta, Senin (14/12).

Data Kementerian Agama tahun 2014 menyebutkan setiap tahun ada dua juta pasangan yang menikah. Sementara angka perceraian menunjukkan 215.000 pasangan berpisah setiap tahun. Mayoritas perceraian terjadi di rumah tangga yang menikah dini sehingga ketika berpisah, perempuan dan anak berada di garis kemiskinan akibat tidak memiliki nafkah. “Ada 13 faktor yang menjadi pemicu perceraian dalam rumah tangga. Tetapi, kasus poligami dan masalah ekonomi menjadi penyebab tertinggi kasus perceraian,” tukas Nasarudin.

Ia menambahkan, untuk kasus gugat cerai harus diperhatikan betul oleh kaum perempuan karena gugat cerai membawa konsekuensi berat utamanya masalah ekonomi. “Istri yang menggugat cerai, ketika perceraian sudah diputuskan maka tidak ada kewajiban suami untuk memberikan nafkah atau uang idah dan lainnya,” tukas Nasarudin.

Nasarudin menghimbau, agama hendaknya tidak digunakan untuk memojokkan perempuan. Tetapi justru sebagai alat perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan jender sehingga seluruh anggota masyarakat Indonesia bisa optimal berkembang. “Artinya, perlu diadakan pemutakhiran tafsir ayat-ayat suci agar bisa relevan dengan keadaan sosial masyarakat Indonesia,” papar dia.

Dikesempatan yang sama, Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto Wiyogo menambahkan kemandirian perempuan dalam hal ekonomi menjadi salah satu penyebab mengapa sekarang perempuan berani menggugat cerai suami. Tetapi keberanian ini sebenarnya sudah kebablasan. “Jangan karena mandiri secara ekonomi, tidak bergantung pada uang suami, lantas dengan mudah menggugat cerai,” lontarnya.

Ia menjelaskan, bahwa perceraian tidak hanya akan berakibat bagi si perempuan itu sendiri. Tetapi juga situasi dan kondisi anak-anak harus menjadi pertimbangan semua perempuan yang hendak bercerai. “Cerai akan membuat anak-anak terganggu. Bagaimanapun mereka tidak akan nyaman apalagi jika masing-masing orangtua kemudian memiliki pasangan,” tegas Giwo.

Selain itu, Staf Ahli Menteri PP dan PA Bidang Hubungan Internasional, Luly Altruiswaty, mengatakan perempuan berperan penting dalam pembangunan karena perempuan merefleksikan pelaku sekaligus penerima pembangunan. “Kiprah perempuan, utamanya perempuan pejuang, sangat penting sebagai mitra sejajar kaum laki-laki dalam merebut dan mengisi kemerdekaan,” lontar dia.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menilai tingginya kasus gugat cerai yang dilakukan perempuan banyak menimpa mereka yang melakukan pernikahan dini. Imbasnya, kata Khofifah, anak yang menjadi korban.

“Gugat cerai pernikahan dini tidak hanya dini usia, tapi juga dilakukan pada usia pernikahan di bawah 5 tahun. Faktor penyebabnya karena tingkat kematangan perempuan dalam mengambil keputusan untuk memulai pernikahan,” bebernya.

Harus diakui, kata Khofifah, berbagai permasalahan yang terjadi, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan anak dan perempuan itu hanya dari pernikahan dini dan pernikahan yang tidak tercatatkan, serta teradministrasikan. Termasuk, menurutnya usia pernikahan di bawah lima tahun yang rentan terhadap berbagai masalah KDRT, kekerasan terhadap anak dan perempuan.

“Untuk mendapatkan pernikahan sejahtera, agar menghindari pernikahan dini dan tidak tercacatkan. Sebab, UU No 1 tahun 1974 menyebut umur perkawian perempuan 16 tahun mesti direvisi seiring regulasi yang ada,” ungkapnya.

Sementara, Wakil Ketua DPD RI Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, mengutarakan kekecewaannya dengan belum disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Jender oleh DPR. “Ini bukan masalah jenis kelamin, melainkan keadilan yang merupakan hak asasi rakyat Indonesia,” terangnya.

Menurut Hemas, RUU tersebut sudah diperjuangkan sejak 2009, tetapi belum bisa masuk ke dalam Program Legislasi Nasional. “Oleh karena itu, saya mengimbau semua penduduk Indonesia agar memahami bahwa perjuangan kaum perempuan merupakan perjuangan bangsa,” imbuh dia. (nas/fdi)

Sumber: http://www.radarsolo.co.id/nasional/4548-istri-gugat-cerai-capai-75-persen.html

Create Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *