Sosialisasi Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak
Jakarta, KOWANI — Kekerasan terhadap anak dapat terjadi dimana saja, baik di rumah, di sekolah bahkan di dalam komunitas masyarakat. Anak merupakan kelompok yang mudah mengalami kekerasan. Hal seperti ini bisa terjadi saat kerusuhan, konflik sosial, konflik militer, maupun saat bencana alam. Mereka mengalami kekerasan secara fisik dan psikis, sehingga menempatkan mereka pada posisi paling rentan.
Eksploitasi komersil atau eksploitasi lain mengakibatkan cidera dan kerugian yang nyata terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat. Selain itu juga karena norma hukum lemah, perspektif APH (Aparat Penegak Hukum) belum sama, serta karena sering kali korban diminta menghadirkan saksi mata. Ini yang menjadi kendala dalam mengatasi kasus kejahatan seksual terhadap anak.
“Kejahatan seksual merupakan kejahatan serius”, kata Ketua Umum Kowani, DR. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd. saat menjadi narasumber pada Sosialisasi INPRES No.5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Dalam sosialisasi yang berlangsung selama 3 hari, 2-4 Mei 2016 ini Ibu Giwo menyampaikan makalah tentang Keterlibatan Komunitas dalam Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak.
Dalam pengungkapan kejahatan seksual, katanya, sering terjadi bahwa keluarga korban tidak menghendaki pelaporan karena malu. Atau karena tidak yakin terhadap proses hukum, atau juga karena faktor akses dan lainnya.
Ibu Giwo menuturkan bahwa pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak, dimana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.
Katanya, bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin, dan sebagainya.
Banyak pemicu maraknya kejahatan seksual, di antaranya rentannya ketahanan keluarga dan mudahnya mengakses pornografi. Kecenderungan korban yang kurang mendapat rehabilitasi berpotensi melakukan kejahatan yang sama. Norma hukum belum memberikan efek jera dan efek cegah.
Sebagai upaya pengungkapan, sebagian keluarga tak merasa nyaman atas kasusnya. Kalau dilaporkan pada yang berwajib ada pergeseran istilah dan makna.
Gagasan yang besar, kejahatan yang serius harus diatasi dengan intervensi yang serius. Optimalisasi sistem perlindungan anak terkait norma, SDM, kelembagaan, mekanisme, layanan, rehabilitasi, dan lain-lain, tidak dilaksanakan dengan baik. Masalah akan hilang dengan jalan penyelesaian keluarga, misalnya dengan memberi uang dan pulang kampung.
Sosialisasi ini diselenggarakan oleh Kementerian Agama, Dirjen Bimas Buddha, pada tanggal 3 Mei 2016, bertempat di Allium Hotel Tangerang, Jl.Benteng Betawi No.88 Tangerang, Banten.
Acara sosialisasi ini diikuti sekitar 150 orang perwakilan dari berbagai institusi terkait dengan Agama Buddha dari seluruh Indonesia, antara lain dari Majelis Agama Buddha, penyuluh Agama Buddha, PNS dan non PNS, serta tokoh-tokoh Agama Buddha.
Foto bersama usai sosialisasi