Kebangkitan gerakan perempuan pada masa kolonial semakin terasa di tahun 1928 dengan diselenggarakannya kongres Perempuan 1 (22-25 Desember) di Yogyakarta dengan tujuan memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan. Menurut catatan Susan Blackburn beberapa tokoh feminis Eropa merasa tersinggung karena kongres tersebut hanya diperuntukkan bagi “kaum pribumi”, suatu identitas yang membedakan mereka dari perempuan-perempuan lain.
Pada masa pasca kolonial 1945-1966, gerakan perempuan semakin mewarnai kemerdekaan bangsa Indonesia. Kala itu muncul PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang terbentuk tanggal 17 Desember 1945. Sewaktu berlangsung perang, kegiatan PERWARI merupakan kegiatan “homefront”, mengurus dapur umum dan membantu PMI. Setelah perang kemerdekaan reda, PERWARI menggiatkan diri dalam mengisi kemerdekaan dengan memusatkan perhatiannya dalam bidang pendidikan.
Perwani Berfusi dengan Wani Menjadi Perwari
Kongres Wanita Indonesia di Klaten pada tanggal 15 -17 Desember 1945, diadakan atas inisiatif Perwani di Yogyakarta bertujuan untuk :
Hasil Kongres, diputuskan bahwa Perwani dan Wani meleburkan diri menjadi “ Persatuan Wanita RI” (Perwari), yang berazaskan ketuhanan, kebangsaan, dan kerakyatan. Pada kongres tersebut ditetapkan Ny. Sri mangunsarkoro sebagai ketua terpilih dan wakilnya Ny. M.D. Hadiprabowo, sedangkan tempat kedudukan organisasi di Yoyakarta.
Walaupun Perwari merupakan organisasi sosial, namun anggotanya diberi pendidikan politik umum agar mereka sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan sebagai Ibu Bangsa bagi rakyat Indonesia. Anggota Perwari diperbolehkan memasuki perkumpulan-perkumpulan politik yang sesuai dengan azas dan tujuan Perwari.
Tujuan Perwari adalah menuntut dan mempertahankan keadilan sosial agar keselamatan perikemanusiaan dalam masyarakat Indonesia terjamin.