Berita

  • Home
  • Berita
  • KemenPPPA dan Kowani Serukan Perkawinan Anak Harus Dihentikan!

KemenPPPA dan Kowani Serukan Perkawinan Anak Harus Dihentikan!

  • adminkowani
  • 7 Agustus 2020
News Image

JAKARTA — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyampaikan praktek pernikahan anak di bawah usia masih saja terjadi. Karenanya, kita semua wajib memerdekakan anak-anak Indonesia dari jeratan praktik perkawinan anak.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), memang secara nasional terjadi penurunan proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun. Jika pada 2018 angka nasional perkawinan anak sebesar 11,21 persen, maka pada 2019 terjadi penurunan menjadi 10,82 persen.

“Namun berdasarkan data BPS juga di tahun yang sama masih terdapat 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional. Provinsi Kalimantan Selatan menempati posisi pertama dengan jumlah perkawinan anak paling tinggi, yakni 21,2 persen.,” kata menteri.

Bintang menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara kunci pada Talkshow Sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dengan tema Batas Usia Perkawinan dalam Berbagai Perspektii, yang diadakan oleh Kongres Wanita Indonesia (Kowani) secara virtual, Jumat (7/8/2020).

MENTERI MENEGASKAN, MASALAH PERKAWINAN ANAK MENJADI KEKHAWATIRAN BERSAMA KARENA DAMPAKNYA MENGAKIBATKAN BANYAK KEGAGALAN YANG DIALAMI OLEH NEGARA, MASYARAKAT, KELUARGA, BAHKAN OLEH ANAK ITU SENDIRI. “KARENANYA, PERKAWINAN ANAK HARUS DIHENTIKAN!” TEGASNYA.

Menurutnya, sinergi yang dilakukan bersama antara pemerintah dengan lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media, diharapkan dapat mengubah cara pandang para orangtua dan keluarga yang mempunyai tanggung jawab dan berkewajiban untuk memerdekakan anak-anak Indonesia dari jeratan praktik perkawinan anak.

Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah disahkan pada tahun 2019. Dalam undang-undang tersebut telah mencantumkan perubahan usia minimal perkawinan dari 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun. Hal ini telah mengakomodasi prinsip kesetaraan dan juga bentuk afirmasi yang progresif.

“Batas usia perkawinan 19 tahun harus terus disosialisasikan secara intensif dan masif karena perkawinan bukanlah sekadar romantisme belaka, namun terkait keniscayaan untuk membangun peradaban bangsa yang tanggung jawabnya tidak mungkin diletakkan pada anak yang masih harus diasuh dan dilindungi tumbuh kembangnya,” tandasnya.

Untuk mempercepat penurunan perkawinan anak, sejak 2018 Kemen PPPA telah melakukan beberapa upaya, dan dikuatkan kembali pada 2020. Upaya tersebut di antaranya Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPPA) yang keanggotaannya melibatkan 17 kementerian/lembaga dan 65 lembaga masyarakat.

Selain itu, 20 provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi (tahun 2018) juga telah membuat Pakta Integritas yang melibatkan dunia usaha, para tokoh agama dari 6 (enam) lintas agama, Forum Anak, dan Jurnalis Kawan Anak.

Senada dengan Menteri Bintang, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Giwo Rubianto Wiyogo, mengatakan pentingnya untuk melakukan sosialisasi terkait Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan, terutama terkait batas usia perkawinan.

“Logikanya, dengan adanya peningkatan batas usia perkawinan akan membuat praktik perkawinan anak berkurang, atau bahkan tidak ada. Namun, faktanya tidaklah demikian. Karenanya, menjadi penting untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan agar masyarakat dapat mengedukasi lingkungannya, terutama terkait batas usia perkawinan,” tuturnya.

Giwo menyampaikan masih maraknya pernikahan usia anak karena ada surat dispensasi dari Pengadilan Agama setempat yang tidak turut direvisi sebagaimana UU Perkawinan. Dispensasi ini bisa dikantongi orangtua setelah menyampaikan “alasan mendesak” pernikahan anak harus berlangsung.

Ia menegaskan, pernikahan di bawah usia anak adalah bentuk kekerasan pada anak dan bentuk pelanggaran hak-hak anak berdasarkan Kovensi Hak Anak dan dalam UU Perlindungan Anak.

Terlebih pernikahan anak beresiko kematian pada anak juga besar akibat dampak komplikasi saat mengandung dan melahirkan dibanding mereka yang menikah di usia dewasa. Selain itu, berpotensi menyumbang angka kematian bayi saat lahir dan angka kematian ibu saat melahirkan.

“Penikahan anak juga berdampak pada tumbuh kembang anak, termasuk ibu dan bayinya, juga tidak akan terpenuhinya hak-hak dasar anak. Terlalu dini menjadi istri dan ibu akan banyak hak anak yang dikorbankan yang mempengaruhi kondisi psikologis anak,” terangnya.

Dan, umumnya pernikahan secara dini selalu berlangsung tidak harmonis karena belum siapnya psikologis anak menanggung beban sebagai istri dan orangtua di usia masih dini. Tidak sedikit pernikahan anak berakhir dengan perceraian.

Karenanya, pencegahan perkawinan anak menjadi tanggung jawab bersama, karena begitu besar taruhannya bagi eksistensi anak bangsa sebagai generasi penerus bangsa, yang juga menjadi pertaruhan eksistensi Indonesia sebagai bangsa. Kowani dengan 87 juta anggotanya yang tersebar di seluruh Indonesia, pun berkomitmen untuk menghentikan kasus pernikahan anak. (tety)

sumber link: http://possore.com/2020/08/08/kemenpppa-dan-kowani-serukan-perkawinan-anak-harus-dihentikan/?fbclid=IwAR0nLSBz43GgH3AQ6oafDHlQS22Xbdz56F64a_jUDfax1-2zhkuuVYwUBqo

baca juga: https://koranpelita.com/?p=72861&fbclid=IwAR3gK2EcEF86_b9m0tKbMcFTwX6GofkCjNxGe8s2fWlHzeRFU7-ERF4GKgc

https://menara62.com/ketum-kowani-ajak-masyarakat-cegah-perkawinan-anak/?fbclid=IwAR2NUi6AX7r8bJrTwb_eK0WjyWVHIhR7OypwWOhXiTugnuxjUMHoQqzRoKA

Create Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *