Press Release : “Problematika Prostitusi On-Line dalam Pergeseran Nilai Budaya dan Etika di Masyarakat”
Jakarta, KOWANI — PRESS RELEASE “Problematika Prostitusi On-Line dalam Pergeseran Nilai Budaya dan Etika di Masyarakat”
Prostitusi online bukanlah barang baru di Indonesia, keberadaannya merupakan bagian dari kenyataan pahit yang tak segera diobati. Selain itu, di dunia prostitusi online, para perempuan bebas memilih kliennya, tidak seperti bekerja di perusahaan yang dianggap mengikat. Pelaku usaha prostitusi online memiliki cara yang tergolong mudah dalam menjalankan usahanya.
Setelah meninggalnya Deudeuh Alfisahrin atau yang lebih dikenal dengan panggilan Tata Chubby, sepertinya prostitusi online mulai terkuak di dunia maya. Kini, mulai banyak prostitusi online yang dapat di akses dan dapat diorder dengan mudah tanpa harus berada di jalanan. Para pelaku prostitusi online baik pada gadis ABG maupun para pria hidung belang mengaku lebih suka memilih cara online daripada langsung bertemu. Dengan sistem online semuanya menjadi lebih mudah bahkan tinggal memilih kriteria yang cocok dan harga yang diinginkan.
Para wanita panggilan kerap sekali menggunakan media sosial seperti twitter dan facebook untuk mempromosikan dirinya kepada para lelaki hidung belang yang hendak mencari kepuasan ranjang. Setelah berhubungan melalui twitter atau facebook kemudian percakapan serius dilanjutkan dengan BBM atau Whatsapp. Alasannya : lebih mudah dan aman, tidak berisiko oleh urusan hukum karena tidak berada di jalanan, lebih cepat dan langsung bertemu dengan pembeli tanpa harus melalui perantara, PSK bisa menentukan harga terlebih dahulu sebelum ada kata deal.
Kasus pembunuhan Deudeuh Alfisyahrin (26) di sebuah kamar indekost di wilayah Tebet, Jakarta Selatan, telah menyita perhatian publik. Kasus itu secara langsung menguak tabir adanya fenomena iklan online layanan prostitusi. Memang tidak mudah mengungkap kasus prostitusi online.
“Dalam prostitusi online, ditemui banyak akun alter, yakni akun-akun palsu yang memang menjual foto, nomor handphone dan juga menjual gambar-gambar yang tidak senonoh. Jumlahnya jutaan dan sangat sulit membedakan mana yang akun asli atau palsu. Kepolisian, harus ekstra teliti karena prostitusi online tidak seterang praktik prostitusi yang konvensional, dan kepolisian tidak bisa begitu saja menangkap orang-orang yang diduga menjajakan diri secara online. Kepolisian dan Kemenkominfo, terus meningkatkan kerjasama, karena bagaimanapun, akun-akun alter itu bisa dibuat setiap saat. Pihak Kepolisian berharap ada kerja keras lagi dari Kemenkominfo, memblokir akun-akun alter itu”.
Prostitusi online merupakan sebuah fenomena yang terjadi di kehidupan bermasyarakat, adanya prostitusi online yang marak akhir-akhir ini dinilai sebagai akibat ketidakmampuan kaum perempuan dalam aspek kehidupan apabila dibandingkan dengan kaum laki-laki. Perempuan yang melakukan kegiatan prostitusi tidak sedikit yang berada dalam garis kemiskinan, perilaku menyimpang ini menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan.
Sebuah penelitian mengungkap fakta bahwa jumlah anak dan remaja yang terjebak di dunia prostitusi di Indonesia semakin meningkat dalam empat tahun terakhir ini, terutama semenjak krisis moneter terjadi. Setiap tahun sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks. Sementara itu, menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun.
Dilihat dari masalah prostitusi di kalangan remaja ini semakin membuka mata kita dan memperlihatkan kenyataan saat ini bahwa betapa harus diwaspadai anak-anak kita agar tidak sampai tercebur ke dalam dunia prostitusi. Apalagi orang tua di zaman sekarang jarang untuk memperhatikan kegiatan anak-anaknya. Sifatnya yang serba individualis, kadangkala orang tua cukup memberi kepercayaan penuh pada anak-anaknya tanpa memandang bahwa anak itu akan menjaga sepenuhnya kepercayaan dari orang tuanya.
Lebih jauh ditegaskan, proses pematangan fisik pada remaja terjadi lebih cepat dari proses pematangan psikososial. Hal ini sering menyebabkan berbagai masalah. Di satu sisi remaja sudah merasa matang secara fisik dan ingin bebas dan mandiri. Di sisi lain mereka tetap membutuhkan bantuan, dukungan serta perlindungan orang tua.
Orang tua sering tidak mengetahui atau tidak memahami perubahan yang terjadi pada remaja sehingga tidak jarang terjadi konflik di antara keduanya. Karena merasa tidak dimengerti remaja seringkali memperlihatkan agresivitas yang dapat mengarah pada perilaku berisiko tinggi.
Alasan-alasan mengapa seorang remaja bisa terjerumus ke dalam dunia prostitusi juga sangat kompleks, karena menyangkut masalah sosial, ekonomi, pendidikan, angka putus sekolah, kesehatan (terutama menyangkut ketergantungan NAPZA), tidak saja dari pihak si remaja tadi melainkan juga keluarga dan seluruh masyarakat di sekelilingnya. Banyak dari mereka yang nekat menjadi pekerja seks karena frustrasi setelah harapannya untuk mendapatkan kasih sayang di keluarganya tidak terpenuhi. Sebagian datang dari keluarga “broken home”, sebagian ada yang pernah mengalami kekerasan seksual dari pacar atau anggota keluarganya sendiri seperti paman atau bahkan ayahnya.
Selain itu, peran media massa juga tidak dapat diabaikan. Liputan, tayangan film yang menampilkan adegan seks dan pornografi, serta perkembangan dunia mode dan fashion juga antara lain membuat para remaja (terutama perempuan) makin menyadari potensi seksual dan sensualitasnya serta bagaimana menggunakan potensi itu untuk memperoleh uang agar dapat mengikuti pola hidup konsumerisme yang sudah menjangkiti masyarakat.
Dengan kecanggihan teknologi, tak ayal lagi bahwasanya remaja sangat mudah mempelajari internet. Dengan kemampuan yang dimiliki saat ini merupakan hal yang mudah bagi dirinya untuk memperluas akses atas sensualitas diri. Mereka banyak yang menjajakan diri di dunia maya, dengan menyebarkan foto-foto vulgar yang dimilikinya dan menjadi gairah tersendiri bagi kaum lelaki. Mulai dari berkenalan hingga akhirnya melakukan transaksi dengan harga yang cukup lumayan mahal Hal ini mudah bagi seorang mucikari untuk menjual remaja-remaja wanita ini pada siapapun yang berminat.
Parahnya, persentase pelajar belia yang rela memperdagangkan seks di internet ternyata cukup mengejutkan, setidaknya di Korea Selatan. Dalam survei Kementerian Kesetaraan Gender Korea Selatan di wilayah Busan pada 2012 pelajar wanita, 672 di antaranya atau 33,4 persen menyatakan pernah menerima tawaran prostitusi via internet. Dii antara para pelajar yang menerima penawaran seperti itu, hanya 35 persen yang mengaku tidak mempedulikannya. Sebanyak 20 persen mengaku nekat melibatkan diri dalam perdagangan seks online tersebut dan sisa responden juga mengaku tertarik dengan tawaran itu. Adapun di antara para pelajar yang terlibat dalam perdagangan seks online tersebut, 37 persen melakukannya karena dorongan hati dan 25 persen karena ingin meraup uang secara instan. Sementara sisanya karena merasa ingin tahu serta alasan-alasan lainnya.
Ketika ditanya mengapa mereka suka melakukan transaksi seks secara online, alasannya adalah karena kemudahan akses dan adanya anonimitas di dunia maya. Sisanya menjawab internet memungkinkan mereka bisa menjual seks tanpa khawatir terjaring hukuman.
Apa pun alasan seorang remaja terjun di dunia prostitusi, karakteristik pekerjaan yang harus dilakukan oleh pekerja seks membuat prostitusi menjadi pekerjaan yang berisiko tinggi. Dalam melakukan pekerjaannya, mereka berganti-ganti pasangan dan melakukan hubungan seksual dengan banyak orang. diantara pelanggan yang datang dan pergi itu tentunya juga terdapat berbagai karakter manusia: ada yang lembut, ada yang kasar, ada yang sehat, ada pula yang berpenyakit menular, yang jujur, dan yang menipu.
Prostitusi juga bukan dunia yang mudah ditinggalkan. Sekali kita tercebur, perlu usaha ekstra keras untuk berhenti. Banyak remaja, terutama di kalangan anak sekolah atau kuliah yang terjun ke dunia prostitusi memang tidak berniat untuk menjadikan prostitusi sebagai pekerjaan utamanya. Mereka berpikir, mereka hanya akan menjadi pekerja seks sementara saja. Dalam beberapa tahun ke depan mereka akan berhenti dan beralih profesi. Ternyata masalahnya tidak semudah itu. Apabila aktivitasnya sebagai pekerja seks ini diketahui oleh keluarganya (apalagi, misalnya, salah satu pelanggan merekam adegan seks mereka kemudian mengedarkannya), maka besar kemungkinan mereka tidak mau menerimanya kembali. Belum lagi teman-teman dan lingkungan masyarakat yang seringkali sangat judgemental atau bersikap menghakimi. Hal ini membuat mereka merasa lebih baik terus bekerja sebagai pekerja seks. Lama kelamaan, pilihan untuk bekerja si bidang lain akan tertutup.
Profesi sebagai pekerja seks tidak dipandang sebagai profesi yang terhormat oleh masyarakat. Memang di kalangan masyarakat luas sendiri terdapat semacam dualisme dalam menyikapi masalah prostitusi. Di satu pihak, demand atau permintaan terhadap pekerja seks remaja juga tetap tinggi dan banyak yang bersedia membayar pekerja seks remaja lebih mahal dibanding yang sudah berumur. Namun, di pihak lain, walaupun saat ini sebagian kecil masyarakat sudah mulai melihat para pekerja seks sebagai korban dan berusaha untuk menawarkan program-program pengentasan untuk menolong mereka, sebagian besar lain dari masyarakat masih terus mengutuk dan mengucilkan para pekerja seks, menganggap mereka sampah masyarakat. Bahkan ketika mereka ingin beralih profesi ke bidang lain yang dipandang bermartabat oleh lingkungannya, masyarakat tidak begitu saja menerima mereka. Hall ini mengakibatkan para pekerja seks mengalami kesulitan untuk alih profesi ke bidang lain.
Upaya pencegahan Prostitusi Online atau tindakan asusila lainnya adalah salah satu solusi agar pelanggaran terhadap penyakit social ini tidak merebak, upaya pencegahan tersebut antara lain:
Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik, seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah. Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan pendekatan kemanusiaan, yaitu abolisionis yang memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia merupakan korban mata rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau pendekatan penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam kurikulum pendidikan para polisi pamong praja atau aparat lain.
Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik, dan integratif. Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai sikap dan perilaku bahwa perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita bahu-membahu mencari solusi persoalan, memberi bekal para perempuan yang dilacurkan untuk menopang ekonomi keluarga berupa kemampuan baca-tulis, keterampilan rias wajah, menyamak kulit, menjahit, wirausaha, atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung.
Ketiga, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat, penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.
Keempat, mulai sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib, penggunaan pola militeristik yang menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian melakukan penertiban, diharapkan bukan hanya aparat laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah proporsional. Jangan kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi “pajangan”. Karena perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan seksual, maka perlindungan saksi pelapor juga diperlukan.
Kerja sama dan pengawasan ketat bersama pemerintah daerah asal dalam pemulangan juga diperlukan untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi proyek pemulangan saja.
Jakarta, 20 April 2015
Ketua Umum Kowani
Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd.
(Humas KOWANI)