Mari Kita Budayakan Cinta Produksi Dalam Negeri
JAKARTA, KOWANI — Alangkah banyak alasan untuk mencintai produksi dalam negeri, dan sudah merupakan keharusan bagi warga negara untuk mencintai produk-produk dalam negeri agar produk dalam negeri sendiri bisa bersaing di kancah internasional. Namun ternyata sebagian masyarakat Indonesia sering merasa lebih berkelas ketika memakai produk berlabel luar negeri, buatan rumah fashion ternama misalnya.
Padahal pada kenyataannya, kini banyak produk dalam negeri yang justru menjadi pemasok merk-merk mahal dan terkenal dari luar negeri. Pertanyaannya, mengapa negara-negara maju itu tertarik menggunakan barang lokal untuk merk dagang mereka yang mendunia? Bukankah orang Indonesia sendiri mengatakan bahwa produk lokal merupakan barang kelas dua atau bahkan kelas tiga? Sudah seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia lebih mencintai produk dalam negeri, karena brand dunia pun sudah mengakui kualitas barang lokal kita.
Saat ini yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan adalah ancaman terhadap aset negara berupa budaya dan produk lokal yang telah menghadapi perdagangan bebas. Indonesia telah menyetujui adanya kerjasama perdagangan bebas ASEAN-CHINA yang dikenal dengan ACFTA. Oleh karena itu mari kita coba menyoroti dampak perdagangan bebas pada pasar Indonesia dan kaitannya dengan rasa cinta pada tanah air yang diwujudkan dengan “Cinta Produksi Dalam Negeri”.
Cinta produk Indonesia dapat menjadi gambaran betapa besarnya rasa cinta masyarakat pada bangsa ini. Bayangkan, ketika seluruh rakyat Indonesia dengan penuh kesadaran mengkonsumsi produk-produk buatan lokal di tengah derasnya arus barang impor dari luar negeri. Secara tak langsung, konsumsi yang begitu besar akan meningkatkan pendapatan pengusaha lokal bahkan pendapatan nasional. Diharapkan pula dengan keuntungan tersebut pelaku usaha akan terus meningkatkan mutu produk-produknya sebagai timbal balik dari kepercayaan publik dalam negeri. Selain itu, permintaan produk lokal yang tinggi tentu menuntut peningkatan jumlah produksi yang juga akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi jutaan rakyat Indonesia. Beberapa hal di atas mungkin hanya sebagian kecil dari pentingnya rasa cinta tanah air yang diwujudkan dengan “Cinta Produk Dalam Negeri”.
Agaknya kita perlu belajar dari masyarakat Jepang yang sangat loyal terhadap barang-barang buatan negaranya meskipun tidak sedikit barang dari luar negeri yang masuk. Karena mereka percaya dengan membeli produk dalam negeri adalah suatu cara membantu negaranya untuk menjadi bangsa yang besar.
Namun begitupun seharusnya pelaku usaha di tanah air bisa lebih memahami keinginan masyarakat kita yang tidak mau “ditipu” dengan dijualnya suatu barang yang harganya tidak sebanding dengan mutunya. Maka perlu bagi para pelaku usaha untuk senantiasa meningkatkan mutu dan pelayanan terhadap konsumen dalam negeri, sehingga masyarakat tidak akan ragu memilih untuk menggunakan produk-produknya.
Pemerintah juga tidak boleh lepas tangan, dalam hal ini peran pemerintah sebagai teladan sangat diharapkan. Karena bagaimana mungkin masyarakat diminta untuk mencintai produk dalam negeri kalau pejabat pemerintahan sendiri ternyata lebih senang memakai produk-produk luar negeri.
Dari sudut pandang sumber daya manusia, sebenarnya kualitas orang-orang Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan orang-orang di negara-negara maju, jika saja benar-benar mau belajar. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh-tokoh dan cendikiawan yang berasal dari negara kepulauan terbesar di dunia ini. Namun kemauan saja tidak cukup, fasilitas pendukungnya pun harus mumpuni. Hal inilah yang harus menjadi sorotan. Bahwa dalam proses belajarnya, orang-orang Indonesia belum mendapatkan fasilitas yang memadai, belum maksimalnya akses informasi dari masyarakat di pedalaman. Serta yang tidak boleh dilupakan juga adalah asupan gizi sebagian besar masyarakat yang jauh dari pemenuhannya karena alasan ekonomi. Beberapa gambaran diatas menjadi mata rantai permasalahan yang saling terkait yang membuat kualitas orang-orang Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan orang-orang di negara-negara maju.
Kualitas masyarakat yang rendah juga berakibat pada rendahnya mutu atau kualitas produk (barang maupun jasa) yang dihasilkan. Hal ini karena belum maksimalnya penerapan sebuah teknologi dalam proses produksi. Kebanyakan masyarakat hanya mengandalkan pengalaman saja tanpa diiringi penguasaan konsep dan teknologi yang membuat tidak maksimalnya proses produksi.
Permasalahan yang selanjutnya adalah dalam menjalankan proses produksinya, pelaku usaha di tanah air selalu dibayang-bayangi masalah finansial atau pendanaan proses produksi. Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah telah memberikan bantuan dengan mengucurkan dana usaha bagi pengusaha kecil dan menengah. Namun, yang harus disoroti adalah bahwa bantuan-bantuan yang ditujukan kepada kalangan pengusaha kecil dan menengah itu belum termanfaatkan dengan maksimal. Karena ternyata dalam penyalurannya, bantuan tersebut banyak yang salah sasaran. Sehingga wajar saja bila pengusaha kecil dan menengah tidak dapat berbuat banyak untuk menyikapi masalah pedanaan ini. Secara tidak langsung keadaan ini mengganggu proses produksi yang membuat mereka lebih memilih untuk menekan biaya produksi hingga seminimal mungkin. Misalnya saja dengan menggunakan bahan baku yang kualitasnya dibawah standar yang seharusnya serta penggunaan teknologi konvensional yang membuat proses produksi tidak maksimal.
Dua permasalahan klasik diatas merupakan sebagian kecil dari hambatan-hambatan yang membuat produk-produk dalam negeri menjadi lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan produk-produk yang diproduksi negara-negara maju. Hal ini tentunya menjadi ancaman serius bagi pelaku usaha nasional karena kita telah memasuki gerbang perdagangan bebas. Sedangkan pada perdagangan bebas itu diharapkan barang-barang produksi anak bangsa mampu menyaingi produk luar yang masuk ke Indonesia sehingga dapat tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Masyarakat Indonesia pada umumnya telah melakukan pengaturan pada pola pikir mereka bahwa produk asal luar negeri selalu atau bahkan selamanya akan memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan produk dalam negeri. Dan karena kecintaan mereka terhadap produk luar negeri, mereka rela merogoh saku dalam-dalam untuk sebuah produk luar negeri. Hal tersebut bertolak belakang dengan produk dalam negeri yang memiliki image buruk bahkan sangat buruk di mata konsumen (masyarakat Indonesia.red). Jangankan untuk merogoh saku dalam-dalam, merogoh di permukaan saku pun sepertinya masyarakat enggan kalau uang itu hanya untuk membeli sebuah barang produksi dalam negeri. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan berpikir bahwa membeli barang produksi dalam negeri sama saja dengan membuang uang.
Ada beberapa alasan yang menjadi faktor utama masyarakat Indonesia lebih memlilih produk luar negeri. Sebagian dari mereka berasumsi bahwa produk luar negeri memiliki kualitas yang lebih bagus. Mungkin pengibaratan kualitas produk luar negeri dan produk dalam negeri bagaikan langit dan bumi. Sangat signifikan! Sebagian lagi berdalih bahwa produk luar negeri itu lebih elit dan berkelas yang diukur dari segi kualitas atau mungkin juga dari negara asal produk tersebut. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa produk yang berasal dari negara-negara di Eropa lebih berkelas dibanding produk yang berasal dari negara-negara di kawasan Asia.
Menurut para pecandu produk luar negeri, yang membuat produk dalam negeri terpuruk adalah tidak sebandingnya harga dengan kualitas produk dalam negeri. Alasan mereka bahwa produk dalam negeri memiliki kualitas rendah tetapi dipatok dengan harga yang cukup tinggi. Berbeda dengan produk luar negeri yang mereka anggap sebanding antara kualitas dan harganya. Walaupun memiliki harga yang relatif lebih mahal, tetapi mereka tidak segan mengorbankan uang yang lebih banyak untuk barang tersebut.
Sebenarnya banyak alasan yang seharusnya membuat masyarakat Indonesia lebih memilih produk dalam negeri. Pertama, membeli produk dalam negeri secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan para pekerja lokal. Mengapa? Karena semakin banyak permintaan akan produk dalam negeri akan semakin meningkatkan beban pekerja dan itu berarti akan meningkatkan pula upah yang mereka terima. Kedua, membeli produk dalam negeri dapat membantu mengurangi jumlah pengangguran. Apabila permintaan produk dalam negeri meningkat, maka untuk memenuhi pertambahan jumlah permintaan, produsen kemungkinan akan menambah jumlah pekerjanya. Dengan kata lain kembali terbuka lowongan pekerjaan bagi masyarakat yang masih menganggur. Ketiga, membeli produk dalam negeri berarti meningkatkan pendapatan negara. Alasan terakhir adalah dengan membeli produk dalam negeri akan menentukan jati diri bangsa. Hal itu merupakan salah satu wujud cinta kita kepada Indonesia, sebagai warga negara yang baik.
Mungkin banyak yang tidak mengetahui bahwa tidak semua produk dalam negeri memiliki kualitas yang lebih rendah, misalnya buah-buahan. Sebenarnya membeli buah lokal itu memberikan lebih banyak manfaat. Cita rasa buah lokal yang lebih enak dan nutrisinya lebih optimal karena dijual dalam keadaan segar. Harganya pun lebih terjangkau. Selain itu kita ikut mencegah pemanasan global karena mengurangi jumlah pemakaian kapal kargo yang mengangkut buah-buahan impor dan tentu saja kualitas buah lokal lebih baik.
Banyak pula yang akan tercengang ketika mereka mengetahui bahwa banyak perusahaan barang-barang berlabel luar negeri menggunakan jasa orang Indonesia untuk membuat produk mereka. Seperti tas dan sepatu, banyak orang Indonesia yang bekerja sama dengan produsen luar negeri. Mereka membuat sepatu atau tas kemudian dikirimkan ke luar negeri, lalu di sana diberikan label dan dijual kembali kepada konsumen (yang kemungkinan orang Indonesia) dengan “judul” barang produksi luar negeri. Padahal barang tersebut dibuat di Indonesia. Artinya barang buatan orang Indonesia tidak selamanya berkelas rendah. Produsen luar negeri saja mengakui kualitas barang buatan orang Indonesia, mengapa kita sendiri yang notabene masyarakat Indonesia sepertinya berat untuk mengakui kelebihan itu? Gengsikah?
Tidak banyak pula dari masyarakat kita yang menyadari betapa bangsa ini telah kecanduan produk luar negeri. Saat ini barang-barang kebutuan sehari-hari mulai dari makanan, minuman, pakaian, barang elektronik, alat tulis-menulis, sampai korek api pun merupakan barang impor. Apalagi setelah diberlakukannya sistem perdagangan bebas. Produsen dalam negeri seakan tertimbun oleh barang impor hingga tak mampu lagi berproduksi karena kalah bersaing dengan produk luar negeri.
Lihatlah yang terjadi pada Korea Selatan yang 40-an tahun lalu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Indonesia. Tapi sekarang ‘level’ mereka bahkan berada jauh di atas Indonesia. Mereka mampu menjadi produsen barang raksasa yang cukup berpengaruh di Asia. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari peranan masyarakat Korea Selatan sendiri. Mereka lebih bangga dan meras lebih elit bila menggunakan produk buatan negara mereka sendiri.
Hal yang sama juga terjadi pada Jepang. Negara yang terpuruk, bahkan dapat dikatakan mati ketika dibombardir oleh tentara sekutu pada tahun 1945. Tahun yang sama ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Masyarakat Jepang hampir anti dengan produk impor. Mereka akan tetap mengonsumsi produk dari negara mereka sendiri walaupun harganya lebih mahal dan kualitas lebih rendah. Tetapi dengan tindakan seperti itu justru membangkitkan semangat produsen dalam negeri untuk memberikan yang lebih baik bagi para konsumen mereka. Hal ini merupakan apresiasi atas kesetiaan mereka untuk tetap menggunakan produk dalam negeri. Sehingga Jepang berhasil melahirkan banyak perusahaan raksasa yang memiliki pengaruh besar di Asia bahkan dunia. Barang-barang mereka yang bermerk Sony, Honda, Suzuki, dan Kawasaki menjadi barang kelas elit di Indonesia. Dan sekarang Jepang muncul sebagai salah satu negara maju di Asia.
Bila kedua negara di atas dibandingkan dengan Indonesia, seharusnya ketiga negara berada di level keelitan yang sama. Tapi pada kenyataannya, Indonesia tertinggal jauh di bawah mereka. Khususnya dari segi perdagangan, Indonesia hanya bisa ‘gigit jari’ atas prestasi yang mampu diraih Jepang dan Korea Selatan. Indonesia bahkan menjadi negara yang cukup konsumtif dalam menggunakan barang-barang kedua negara tersebut.
Padahal jika Indonesia mau dan berusaha untuk mencari titik cerah seperti ketika Korea Selatan masih berada di masa suram atau ketika Jepang berusaha bangkit dari keterpurukan, pasti bisa. Khususnya dalam menghargai produk hasil karya anak negeri. Korea Selatan dan Jepang bisa seperti sekarang karena masyarakatnya menghargai negara mereka. Mereka mencintai apa yang ada di negara mereka. Mereka bangga berdiri di atas kaki mereka sendiri, dengan menggunakan barang-barang dari negara mereka. Tidak seperti Indonesia yang malah merasa elit dan berkelas ketika menggunakan produk luar negeri. Jangankan bangga, memiliki rasa cinta dan menghargai produk dari negara mereka sendiri tidak.
Masyarakat Indonesia terlalu gengsi untuk menggunakan produk dalam negeri. Mereka merasa lebih elit ketika mereka menggunakan sepatu bermerk Adidas atau Puma ketimbang hanya mengalaskan kaki mereka dengan bungkusan kaki berlabel Cibaduyut. Mereka merasa lebih berkelas ketika laptop yang mereka gunakan bergambar Apple ketimbang mereka mengetik dengan Zyrex. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa berlevel lebih tinggi ketika membayar dengan Dollar ketimbang Rupiah.
Kapan negara ini bisa maju kalau masyarakatnya saja justru merasa lebih bangga, lebih elit, lebih berkelas, dan berlevel tinggi ketika mereka dibalut produk bermerk luar negeri? Kapan produsen dalam negeri bisa maju dan melakukan revolusi terhadap produk mereka kalau tidak ada yang mau membeli produk mereka? jawaban untuk kedua pertanyaan di atas adalah ‘tidak kan pernah terjadi’, kalau masyarakat Indonesia masih menggantung tinggi gengsinya untuk menggunakan produk dalam negeri. Sebuah negara tidak akan pernah maju ketika masyarakatnya tidak mencintai negara mereka sendiri.
Negara kita tidak akan dipandang masyarakat dunia kalau kita sendiri enggan untuk memandang negara kita. Produk dari negara kita tidak akan sama derajatnya dengan produk Korea Selatan dan Jepang apalagi Eropa, kalau kita tidak memulai untuk mencintai produk itu apa adanya. Karena suatu hal yang luar biasa selalu dimulai dengan hal biasa. Dengan bangga dan cinta menggunakan produk Indonesia suatu saat bukan tidak mungkin industri Indonesia akan merangkak naik seperti yang terjadi pada Jepang dan Korea Selatan.
Untuk itu, peran pemerintah dalam hal memajukan produk dalam negeri sudah pasti sangatlah penting. Merupakan kewajiban pemerintah untuk mengkampanyekan slogan “cinta produk Indonesia”. Meminta konsumen agar lebih memilih produk buatan dalam negeri dan mendorong pelaku bisnis (ritel) untuk lebih mengutamakan menjual produk dalam negeri. Namun, jangan sampai itu hanya jargon belaka. Rakyat diminta mencintai produk dalam negeri sementara para pejabat sendiri justru lebih suka menggunakan produk dari luar negeri.
Jika pejabat publik, yang seharusnya jadi panutan, justru lebih suka menggunakan produk luar negeri, bagaimana bisa meminta masyarakat mencintai produk negeri sendiri? Demikian pula produsen, jika mereka sendiri lebih mencintai produk luar negeri, bagaimana mungkin mengharapkan konsumen Indonesia mencintai produk buatan mereka?
Pemerintah maupun asosiasi pengusaha, harus menerapkan standardisasi produk. Sebelum produk dalam negeri dipasarkan, harus memenuhi standar kualitas tertentu. Standar kualitas produk untuk pasar dalam negeri dengan produk untuk ekspor haruslah sama. Artinya, mereka harus memberi nilai atau penghargaan yang sama bagi konsumen di tanah air dengan konsumen di luar negeri. Jangan karena hanya untuk kebutuhan lokal, lantas menganggap remeh soal kualitas. Seolah-olah kualitas pas-pasan sudah cukup untuk konsumen lokal. Hal ini merupakan sebuah kekeliruan yang sangat besar.
Apalagi di era pasar bebas, produk dari berbagai belahan dunia sudah membanjiri negeri kita sehingga konsumen memiliki banyak pilihan. Produsen nasional harus bisa bersaing dengan menghasilkan produk berkualitas bagus, inovatif, dan harga bersaing. Sehingga masyarakat tidak merasa seolah-olah dipaksa membeli produk dalam negeri atau bahkan dianggap “berdosa” karena tidak mencintai produk dalam negeri. Sebab, tak ada yang mau dirugikan dengan membeli produk berkualitas rendah.
Konsumen Indonesia juga perlu dilibatkan atau diberi kesempatan ikut berpartisipasi dalam menilai produk dalam negeri. Konsumen akan loyal terhadap produk dalam negeri bila mereka merasa produk itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka dari segi kualitas, harga, dan inovasi. Supaya pasar kita yang sangat besar ini tidak justru lebih dinikmati para produsen dari luar negeri.
Masyarakat juga dinilai kurang bangga untuk menggunakan barang buatan anak negeri. Mereka beralasan bahwa dengan menggunakan produk luar negeri akan membuat mereka terlihat lebih elit, berkelas serta memiliki gengsi tersendiri. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa produk dalam negeri memiliki kualitas yang tidak sebanding dengan harga yang dipatok oleh produsen.
Untuk itu, kami perlu memberikan masukan:
1. Bagi Pemerintah,
· Pemerintah adalah panutan rakyat, jika pemerintah meminta sesuatu kepada rakyat untuk menjalankannya seharusnya pemerintah pun telah melaksanakannya
· Pemerintah hrus sigap dalam mematenkan produk-produk lokal sehingga tidak ‘diserobot’ negara lain
2. Bagi Produsen Lokal,
· Produsen lokal hendaknya tidak ‘menganaktirikan’ konsumen dalam negeri dengan cara hanya menjual barang-barang berkualitas rendah
· Produsen lokal juga harus jeli melihat pasar, jangan menetapkan harga yang tidak sesuai dengan mutu produk yang dihasilkannya
3. Bagi masyarakat,
· Tidak selayaknya masyarakat berfikiran bahwa produksi dalam negeri kalah saing dengan produk impor
· Kebanggaan menggunakan produk dalam negeri sekecil apapun itu merupakan implementasi rasa cinta tanah air. Maka berbanggalah ketika menggunakan produk dalam negeri
· Mari kita mulai mencintai produk dalam negeri sekecil apapun itu karena langkah-langkah kecil itulah yang nantinya akan menjadi langkah besar.
(Humas Kowani)