Di dunia Internasional pekerja rumah tangga (PRT) sudah diakui sebagai pekerja yang tidak berbeda dari pekerjaan lainnya. Hingga Desember 2016 terdapat 23 negara yang meratifikasi Konvesi ILO 189 tntang kerja layak bagi PRT. Di asia tenggara, Philipina sebagai negara Asia yang pertama kali meratifikasi pada 2012 dan disusul dengan pengesahan UU PPRT tahun 2013. Berbeda dengan pemerintah Indonesia, dimana ratifikasi KILO 189 tak kunjung ada, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2011 dalam Sidang Perburuhan Internasional, menyampaikan dukungan dan komitmen Pemerintah RI terhadap Konvensi ILO 189 untuk dibawa ke Indonesia sebagai aturan nasional. Namun, hingga saat ini dukungan Indonesia di dunia internasional tersebut belum juga dibawa pulang ke tanah air menjadi kebijakan nasional.
Setidaknya dua mekanisme hak asasi manusia PBB yaitu Komite hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan Universal Periodic Review (UPR) merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk segera membuat payung hukum nasional mengenai pengakuan dan perlindungan PRT baik untuk dan meratifikasi Konvensi ILO 189. Namun, hingga saat ini, upaya pengakuan dan perlindungan bagi PRT melalui payung hukum dan kebijakan masih berjalan lamban dan belum menunjukkan kemajuan yang berarti.
Ironisnya, pemerintahan Indonesia seolah tidak serius menanggapi fenomena ini. Sejak diajukan ke DPR pada 2004, RUU Perlindungan PRT belum banyak kemajuan yang signifikan. Bahkan RUU ini sudah beberapa kali tersingkir dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR. Hingga masa jabatan DPR periode 2009-2014 berakhir, RUU ini masih terhambat di Badan Legislasi. Dan terakhir pada November 2017 lalu, persis RUU PRT juga tidak masuk daftar prioritas prolegnas 2018.
Perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) adalah fenomena gunung es. Model penyelesaian persoalan masih bertindak terlihat kasuistis. Penyelesaian yang terjadi masih kasus per kasus dan bersifat kuratif dan tentunya tidak menyentuh akar persoalan. Sementara persoalan PRT kian kompleks. Mulai dari soal upah, jam kerja, cuti, perlindungan kesehatan, keagamaan, atau keselamatan kerja, soal i buruh industri umumnya. Lebih dari itu, berbicara PRT adalah juga berbicara antara perlindungan pengguna PRT, pengaturan hak dan kewajiban pengguna dan PRT dari tindak kekerasan, hak atas rasa aman dan lain-lain menjadi penting untuk dibicarakan.
Melihat pentingnya melakukan evaluasi strategi lobi dan advokasi pasca pertemuan bersama dengan jaringan PRT dan pihak pemerintah bulan September tahun lalu, Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bekerjasama dengan Kongres Wanita Indonesia menyelenggarakan diskusi “Penguatan Kapasitas Lobi dan Konsolidasi tentang Urgensi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga”, Selasa (6/2/2018).
Dilaksanakannya diskusi ini untuk memastikan sejauh mana perkembangan informasi terbaru mengenai upaya pembahasan kebijakan Perlindungan PRT di DPR, Kementrian/Lembaga dan organisasi masyarakat.
Selain evaluasi dan hasil tindak Lanjut (RTL) pertemuan sebelumnya diskusi kali ini juga membahas update Informasi materi hasil tindak lanjut pertemuan dengan DPR, Kementrian/Lembaga dan organisasi masyarakat tentang pembahasan kebijakan Perlindungan PRT; dan peta strategi & advokasi terbaru terkait hasil tindak tentang pembahasan kebijakan Perlindungan PRT.